Selamat Datang

Tanggal 20 April 2007, daerah Lintang IV Lawang diresmikan sebagai Kabupaten yang ke 15 di Propinsi Sumatera Selatan, KABUPATEN EMPAT LAWANG sebutannya,yang meliputi 7 Kecamatan: Pendopo Lintang, Muara Pinang, Lintang Kanan, Ulumusi, Pasemah Air Keruh, Talang Padang dan Tebing Tinggi, melalui Media ini kami akan menampilkan Kabar dan perkembangan Kabupaten baru ini, baik dari sisi “Pembangunan, Seni Budaya, Pariwisata, Kebudayaan dan Sosial Politik” Media ini sebagai jembatan Silaturahmi Masyarakat Lintang IV Lawang yang ada di seluruh penjuru dunia, sebagai wujud kebersamaan membangun Kampung Halaman tercinta, kepada para pengunjung Blog ini kami persilakan anda mengutip/menyunting isi blog ini dan mohon dapat anda sebutkan sumbernya, yang tentunya kami berharap Suku Lintang IV Lawang dapat dikenal oleh masyarakat diseluruh dunia, untuk Masyarakat Empat Lawang yang Singgah disini saya undang anda untuk bergabung di KOMUNITAS/MILLIS Empat Lawang, silakan Klik alamat ini : http://groups.google.co.id/group/lintang-iv-lawang?hl=id Kritik dan saran kirim ke is.majid@gmail.com

AddThis

Bookmark and Share

Rabu, 18 Februari 2009

Melihat Lebih Dekat Kisah Batu Jung di Ujung Alih

BILA kita bekunjung ke Desa Ujung Alih, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang, akan kita jumpai sebuah batu besar yang cukup dikenal masyarakat sebagai batu Jung (Perahu). Batu ini ternyata cukup bersejarah, dimana tempat penambat tali Jung yang ditumpangi dua suami istri Puyang Rio Papak dan Puyang Rio Serona, saat berlabuh di daerah pinggiran sungai Musi tersebut. Untuk mengetahu lebih dekat kisahnya, berikut hasil wawancara dengan sesepuh sekaligus P3N Ujung Alih, A Rahman beberapa waktu lalu.

Sekitar 500 tahun silam, wilayah Desa Ujung Alih masih merupakan hutan belantara yang dilintasi aliran Sungai Musi yang cukup deras. Disisi kiri dan kanan sungai terdapat cukup banyak bebatuan besar yang cukup indah dipandang mata. Hingga kini bebatuan besar masih nampak terlihat di sepanjang aliran sungai tersebut.

Batu Jung berada di seberang Desa Ujung Alih. Untuk bisa melihat lebih dekat batu tersebut, saat ini sudah tersedia sarana penyeberangan berupa jembatan gantung. Tak jarang masyarakat dari luar desa kerap berkunjung hanya sekedar untuk melihat lebih dekat cerita legenda yang hingga kini masih banyak masyarakat mengetahui kisahnya tersebut.

Konon, ratusan tahun silam Puyang Rio Papak dan Puyang Rio Serona, sengaja berlabuh di tempat itu setelah beberapa hari menyisiri sungai Musi dengan menggunakan perahu. Sebelum berlabuh di Desa Ujung Alih (dulunya Desa Jung Alih), Puyang Rio Papak dan Puyang Rio Serona, sengaja pergi meninggalkan desa kelahiran mereka yakni Desa Karang Dapo, Kecamatan Ulu Musi.

‘’Saat itu Puyang Rio Papak dan Puyang Rio Serona hanya pergi berdua dengan menggunakan perahu dan membawa barang kebutuhan seadanya,’’ demikian kata A Rahman mengawali ceritanya.

Sebelum pergi meninggalkan Karang Dapo, Puyang Rio Papak dan Puyang Rio Serona kebetulan memiliki seekor ayam bruge (ayam hutan,red) yang terbilang ada keajiban tersendiri. Begitu suami istri ini menaiki perahu, puyang Rio Papak berkata kepada istrinya kalau mereka berdua akan terus menaiki perahu dan mengikuti aliran sungai sebelum ayam bruge yang mereka bawa berkokok.

Siang dan malam, suami istri ini terus menyisiri aliran Sungai Musi dengan menggunakan perahu. Sejumlah tempat sempat mereka mampiri guna untuk beristirahat, lalu kemudian melanjutkan perjalanan dengan mengikuti aliran sungai. ‘’Beberapa kali mereka berdua mampir dan beristirahat dipinggir sungai, tetap saja ayam yang dibawanya tidak pernah berkokok,’’ tambah Rahman.

Perjalanan terus saja dilakukan, hingga akhirnya pada siang hari suami istri ini mampir dipinggiran sungai Musi tepatnya di Desa Ujung Alih. Ditempat ini puyang tersebut berlabuh di sebuah batu putih. Nah, pada saat berlabuh inilah Puyang Rio Papak meletakkan ayam bruge yang dibawanya diatas batu putih. Tiba-tiba saja, ayam tersebut berkokok berulang kali.

Tak pelak, Puyang Rio Papak kaget dan langsung mengajak sang istri untuk menambatkan (mengikatkan) tali tambang perahu ke batu Jung yang besarnya hampir menyerupai rumah tersebut. Jarak antara batu putih dan batu Jung sekitar 300 meter kearah hilir sungai. ‘’ Puyang Rio Papak dan Puyang Rio Serona lalu menambatkan tali perahunya di batu Jung, dan saat itu juga langsung mengghentikan perjalanan mereka dan berlabuhlah selamanya di pinggiran aliran sungai Musi,’’ ujar Rahman, seraya mengatakan kalau batu Jung adalah tempat kedua puyang tersebut menambatkan tali tambang perahu.

Sejak itulah, Puyang Rio Papak bersama istri membina keluarga di Desa Ujung Alih. Membangun tempat tinggal lalu kemudian mempunyai keturunan. Anak cucu puyang Rio Papak ini pun bertambah banyak hingga akhirnya kini terbentuklah sebuah perkampungan penduduk dan kini menjadi sebuah desa.

Kenapa desa ini disebut Jung Alih? ‘’Jung Alih artinya pindah. Kenapa dikatakan pindah, karena kedua puyang ini berlabuh di Jung Alih karena pindah tempat dari Desa Karang Dapo, Ulu Musi,’’ jelas Rahman.

Puyang Rio Papak, menurut Rahman mempunyai tiga orang anak masing-masing Puyang Rio Benang, Puyang Kebal Aji Ronen dan Puyang Gadis. ‘’Puyang Rio Benang cukup dikenal kesaktiannya dapat menghidupkan orang yang sudah meninggal di medan perang. Kalau puyang Kebal Aji Ronen mempunyai ilmu kebal,’’ ungkapnya.

Nah, untuk puyang Gadis hingga kini mempunyai cerita legenda kalau puyang satu ini tidak pernah ditemukan. ‘’Pada suatu hari puyang Gadis mandi dipinggir sungai berseberangan dengan batu Jung. Ketika sedang asyik mandi di sungai tersebut, tiba-tiba puyang Gadis hilang. Upaya pencarian pun terus dilakukan namun hingga kini masih belum ditemukan,’’ ujarnya.

Konon, hilangnya puyang Gadis ini karena disaat sedang mandi ia bertemu seekor naga dan saat itu langsung ikut serta buaya tersebut dan menikah dengan buaya tersebut. ‘’Itu sebabnya ditempat pemandian warga dihilir kampung ada yang namanya saung naga, karena puyang Gadis hilang disana,’’ katanya.

Menurut Rahman, batu Jung dan makam puyang Rio Papak dan Rio Serona hingga kini masih sering dikunjungi masyarakat hanya sekedar untuk ziarah dan ingin melihat lebih dekat cerita legenda tersebut. ‘’Bahkan kalau musim nomor buntut dulu banyak pula yang sengaja datang untuk bertarak,’’ ucapnya.(*)

0 Comments:

Poto Anggota Komunitas L4L