Dalam konteks tersebut ternyata masih saja ada yang malah kembali ke keagungan daerahnya, bercengkrama dengan bahasa Ibunya, bergumul dengan tradisi yang luhur itu dan hal ini saya sebut sebuah kebudayan yang memiliki kepribadian. Bangsa kita termasuk di Sumatera Selatan ini, sudah merasa malu kalau mengetengahkan kesenian daerahnya, menggunakan bahasa daerahnya, terutama para generasi penerusnya. Hampir tidak ada lagi yang menyukai kesenian daerahnya, bahasa daerahnya, apalagi mempelajarinya. Sungguh keprihatinan yang mendalam kalau leluhur itu tahu. Kebanggaan anak negeri terhadap tanah kelahiran dan tradisi tanah leluhur serta karya seni anak bangsanya, luntur sudah.
Kepedulian Sang Penyair
Keprihatinan itu ditangkap Syamsu Indra Usman sang Penyair Gunung, rajo teleguh yang tidak pernah lelah terus mengusung kebudayaan daerah Empat Lawang sebagai kabupaten baru di Sumatera Selatan yang menurutnya sangat berbeda dengan yang lain. Perbedaannya dikatakan dengan lantang, yang menggambarkan karakter Lintang daerahnya. Dia menjadi rujukan utama dalam kebudayaan daerahnya, ia terus berusaha menjaga dan ikut mengembangkannya.
Dalam beberapa pertemuan dan berbagai kegiatan serta membaca beberapa karyanya mengenai budaya Empat Lawang, Indra Usman seakan hendak membicarakan budaya daerah Empat Lawang di tingkat global melalui puisi, cerita pendek dan novel. Bahkan resep masakan tradisional Empat Lawang, kamus bahasa Lintang dan adapt istiadat Empat Lawang. Apakah karya sastra berbahasa daerah Empat Lawang itu merupakan bentuk perlawanan terhadap budaya global? Apakah sebagai bentuk penyadaran bagi masyarakat Empat Lawang? Seakan ia ingin mengatakan bahwa kenalilah budaya sendiri, jangan merasa malu dengan bahasa dan budaya yang kita miliki. Seolah-olah ia juga mengajak marilah kita mencintai seni tradisi dan budaya sendiri, gunakanlah bahasa daerah sebagai ciri kepribadian bangsa melalui karya sastra serta nafas kehidupan hari-hari dalam pergaulan.
Masyarakat Menyepelekan Tradisi
Kita memang sudah hampir kehilangan akar budaya sendiri, dan kita seperti masuk dunia baru, seperti budaya baru atau budaya global yang dikumandangkan lewat berbagai kesempatan dan hampir setiap menit serta detik dinikmati oleh para generasi penerus melalui berbagai media yang semakin canggih.
Kita di sini di Sumatera Selatan terkadang bingung yang mana sesungguhnya kebudayaan milik kita. Seringkali tidak terima dengan kebudayaan yang ada dan telah mengakar. Seringkali tidak percaya diri dengan yang ada, apalagi budaya yang berkembang sesuatu yang buruk, selalu diusut-usut budaya datangan. Dengan alasan bahwa dari dulu Sumatera Selatan merupakan daerah transit berbagai suku bangsa. Bahkan ketika berkembang berbagai macam kekerasan, ada pula alasannya karena Sumatera Selatan merupakan daerah maritim sejak jaman Kerajaan Sriwijaya.
Munculnya berbagai betuk kekerasan sejalan dengan tenggelamnya budaya luhur yang menjadi akar rujukan dalam tingkah laku masyarakat, sebuah tradisi yang mengajarkan moral dan bermasyarakat. Hukum-hukum yang berakar dari tradisi dipangkas walau sedikit-sedikit, ataupun lenyap ditelan jaman, karena system pendidikan tidak mengajarkannya sebagai suatu alat yang dapat dijadikan benteng atau filter atas serangan budaya baru. Pada akhirnya masyarakat kian menyepelekan tradisi puyang, dan semakin lama ditinggalkan bahkan dilupakan. Di sisi lain ada orang-orang luar yang mencoba mencatat sejarah yang mereka anggap bangsa kita memiliki peradaban tinggi pada saat itu.
Namun kita telah menginjak-nginjaknya sendiri.
Simpul-simpul budaya seperti kesenian sudah memudar, sanggar-sanggar kesenian hampir sulit didapatkan, para pekerja seni kehilangan pekerjaannya, Dewan Kesenian tinggal nama dan gedungnya saja. Sementara pendidikan seni budaya di sekolah-sekolah menjadi mata pelajaran anak tiri. Guru-gurunya banyak bukan ahli di bidangnya. Di lain hal sekolah menengah seni dikebiri atau perguruan tinggi seni karbitan. Budaya belajar dari titik nol tidak lagi menjadi model, budaya belajar jalan pintas menjadi popular.
Masalah ini bukan hal yang kecil tetapi nasional, namun orang-orang memandangnya permasalahan ini gampang. Padahal permasalahan kebudayaan merupakan masalah fundamental bagi sebuah bangsa. Karena kebudayaan menyangkut masalah kepribadian bangsa atau karakter bangsa. Apabila kita sudah kehilangan kepribadian maka bangsa kita akan mudah diombang-ambing oleh dorongan dari luar dan akan mudah dipecah belah oleh bangsa lain.
Lahirlah Karya Seni
Syamsu Indra Usman terus melahirkan karya-karya dengan tanpa pamrih, terutama mendokumentasikan sejarah leluhurnya dan berbagai karya seni lain. Berbagai karya sastra mengalir dari pemikiran yang memiliki udara, air dan makanan yang masih segar.
Ingat perjuangan belum selesai, generasi penerus terus lahir dan perlu berbagai bimbingan serta arahan orang tua yang memiliki wawasan seni budaya daerahnya, sehingga generasi yang dilahirkan dapat membentengi diri dari budaya luar yang membuat rusak anak bangsa.
Diharapkan setelah terbentuknya pemerintahan baru yang menjadikannya Kabupaten Empat Lawang, sebagaimana yang dicita-citakan Syamsu Indra Usman, sebagai penggagas utama pembentukan Kabupaten tersebut. Dengan demikian akan lebih mudah memformasikan bentuk kebudayaan Empat Lawang, yang berkarakter keras serta temparamental. Apabila diekspresikan ke dalam bentuk karya seni jelas akan sangat mencolok.
Sebagai upayanya dalam dalam mengakomodir kesenian tradisional Empat Lawang dan bahasa daerahnya akan diusulkan dalam bentuk mata pelajaran di sekolah sebagai muatan lokal. Dengan demikian diharapkan akan lahir karya seni yang bernuansa tradisi Empat Lawang terus mengalir.
Penulis Pekerja Seni dan Guru SMA N 1 Merapai Timur Kabupaten Lahat.
0 Comments:
Post a Comment