Sejak abad ke-15-16 di wilayah Sumsel sudah dikenal adanya pembagian ke dalam dua kekuasaan, yaitu Palembang dan Pasemah (di catatan dan peta Belanda sering disebut Pasemah, padahal yang dimaksud adalah Besemah). Segregasi kekuasaan itu semakin kuat menjelang abad ke-18. Hanya ada dua kekuasaan di ”Batanghari Sembilan” waktu itu, yakni Besemah di bagian barat dan tengah, serta Palembang di bagian timur dan utara.
Dalam catatan sejarah Kesultanan Palembang, pemberian wilayah politik ini diperkuat dengan konsep dasar kekuasaan Kesultanan Palembang yang diwujudkan dalam Oendang-oendang Simboer Tjahaja (disusun sekitar pertengahan abad ke-17). Kesultanan di sini, menurut sejarawan Djohan Hanafiah (2007), membagi wilayahnya menjadi empat golongan, yakni: (1) ibu kota, di mana sultan mengatur dan menguasai sepenuhnya wilayah itu; (2) kepungutan, daerah yang langsung diperintah dan di bawah kekuasaan sultan dan penduduknya dikenai pajak; (3) sindang, yaitu wilayah ujung dan pinggir yang tidak dikenai pajak dan penduduknya dianggap orang-orang merdeka dan mitra dari sultan yang tugasnya menjaga batas kerajaan; (4) sikap, yaitu wilayah yang terletak di antara sindang dan kepungutan yang dibawahi oleh pamong dari sultan.
Mestika Zed (Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950, 2003) lebih menyederhanakan pembagian wilayah geopolitik itu ke dalam dua kelompok, yang disebut daerah uluan (hulu) dan daerah iliran (hilir). Pada masa Kesultanan Palembang, kedua daerah ini diperlakukan secara berbeda. Kawasan ilir dikenal sebagai wilayah kepungutan dan kawasan uluan dikenal sebagai wilayah sindang. Di wilayah sindang, sultan dan para pembesar kerajaan tidak mempunyai otoritas dalam menerapkan, apalagi memaksakan, hak-hak seperti yang mereka lakukan di wilayah kepungutan.
Kalau daerah iliran ditandai dengan masyarakat perairan sungai yang berorientasi pada aktivitas perniagaan, daerah uluan yang tinggal di perbukitan atau dataran tinggi lebih menunjukkan aktivitas ekonomi pertanian.
Daerah iliran, yang pada masa Kesultanan Palembang menjadi wilayah Kepungutan, dicirikan oleh sentralisasi kekuasaan, baik dalam urusan politik maupun perdagangan. Hubungan-hubungan sosial terpusat di tangan sultan dan para pembesar istana. Sebaliknya, wilayah uluan ditandai dengan kultur masyarakat ”kesukuan” yang lebih otonom. Orang Besemah dan Rejang yang tinggal di wilayah uluan, misalnya, tidak pernah mengaku tunduk kepada kekuasaan kesultanan. Mereka memiliki peraturan sendiri yang dinamakan Undang-Undang Sindang Merdeka, demikian ungkap Zed dalam disertasinya.
Dalam sejarah Sumsel, wilayah sindang memainkan peranan cukup penting, baik pada masa Kesultanan Palembang maupun masa pendudukan Belanda. Pada masa kesultanan, wilayah ini menjadi daerah penahan serangan dari Banten. Hal yang sama terjadi pada masa pendudukan Belanda, wilayah sindang menjadi benteng terakhir perlawanan masyarakat di Sumsel. Ketika Kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan oleh Belanda pada 1825, Besemah menjadi wilayah yang betul-betul lepas dari pengaruh kekuasaan Palembang. Belanda memerlukan waktu 60 tahun untuk menaklukkan Besemah.
Wilayah sindang menjadi basis dari etnik Besemah yang, menurut budayawan Ahmad Bastari Suan (2007), meliputi Kabupaten Lahat (termasuk Kabupaten Empat Lawang) dan Kota Pagar Alam. Meski demikian, ”Jagat Besemah” ini juga meliputi beberapa bagian di wilayah lain, seperti Kisam (Kabupaten OKU Selatan), Kedurang (Kabupaten Bengkulu Selatan), Padang Guci dan Kinal (Kabupaten Kaur). Pasemah (Besemah) bersama-sama dengan Rejang, Empat Lawang, Kikim dan Kisam serta beberapa daerah yang terletak antara Lampung dan Palembang iliran, menurut Zed, masuk dalam kelompok suku Sindang Merdeka.
0 Comments:
Post a Comment