Warga juga mengeluhkan petugas pencatat meteran yang tidak pernah lagi datang ke rumah warga mengecek pemakaian listrik. Warga menduga petugas semaunya menentukan beban terpakai alias main tembak. Padahal pelanggan umumnya pemakai tegangan rendah (TR), sehingga jumlah pemakaian relatif kecil.
Dampak dari aksi main tembak itu membuat tagihan listrik warga tidak tetap. Warga mengeluh dengan kondisi tersebut, karena pengeluarannya untuk biaya listrik cukup besar dan tidak sesuai dengan beban yang terpakai setiap bulannya.
“Biaya per bulan untuk pemakaian listrik 900 Watt seperti kami ini mencapai Rp 150 ribu, bahkan sampai Rp 250 ribu. Ya, jelas banyak rugi kami ini, karena apabila memang dicatat benar-benar jumlahnya tidak sampai seperti itu,” kata Maryuni, warga desa Padangtepong, Senin (12/4).
Kondisi tersebut sudah berlangsung hampir setahun belakangan. “Petugasnya itu hanya sistem tembak saja. Bagaimana bisa mereka dapatkan besarnya meteran yang terpakai, sedangkan petugas sendiri tidak pernah datang ke rumah untuk mengecek,” katanya.
Hal senada dikatakan Wan, warga lainnya. Dikatakan biaya per bulan yang harus dikeluarkannya untuk daya listrik 450 Watt sudah mencapai Rp 150 ribu per bulan. Namun terkadang biayanya turun drastis mencapai Rp 12 ribu per bulan.
“Ini perlu diperhatikan oleh pemerintah atau instansi terkait. Itu merugikan masyarakat banyak. Di kecamatan ini tidak pernah ada petugas yang datang ke rumah-rumah warga mencatat meteran,” ujar Wan.
Kepala PLN Ranting Tebingtinggi, Winarto yang dikonfirmasi mengatakan, pencatatan bukan dilakukan pihak PLN. Dengan demikian menurutnya bukan tanggungjawabnya. Mereka hanya menerima pembayarannya perbulan yang dibayar warga di tiga KUD di Kecamatan Ulumusi.
“Tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi, karena pencatatan itu dilakukan oleh kontraktor. Ya, mungkin mereka tidak mau hilir mudik, jadi mereka memperkirakan saja,” katanya.
sumber : sriwijaya post
0 Comments:
Post a Comment