bahasa Indonesia berarti monyet besar dari hutan yang biasa merusak kebun petani atau lainnya, menjadi salah satu puisi dalam kumpulan puisi berbahasa Lintang. Buku itu sudah dicetak 1.000 eksemplar.
Pria kelahiran Desa Tanjungraya, Kecamatan Pendopo, Kabupaten Empatlawang, 12 Oktober 1953 ini, meskipun terbilang berbadan pendek setidaknya sudah menulis lebih dari 4.000 puisi.
Dalam petikan makna puisi Beghuk Atus ini, ia mengkritik kinerja pemerintah di beberapa daerah yang ada di Sumsel ini.
Saat dibincangi Sripo, Senin (30/8), ayah dari 3 orang anak ini mengatakan, sebanyak 1.000 buku puisi Beghuk Atus dicetak 4 hari yang lalu dengan sponsor Bank SumselBabel.
Buku ini sudah diedarkan di Pemkab dan masyarakat Empatlawang. Nantinya akan ada juga buku yang akan diedarkan ke kota lain di luar Empatlawang.
Selain puisi juga sudah banyak buku novel, kumpulan cerpen, sampai masakan tradisional yang telah diterbitkannya. Dalam penerbitannya, selalu melibatkan pihak lain baik dalam sponsor, merilis dan sebagainya, salah satu yang pernah merilisnya Kompas Gramedia.
“Sudah puluhan tahun kita berkarya, sudah banyak pula kritikan-kritikan pedas terhadap pemerintah dan lainnya. Ya, kalau ada yang merasa silahkan tersinggung, kalau yang tidak melakukan tidak akan tersinggung,” ujarnya.
Syamsu menambahkan, ia bergelut di puisi memang karena hobi sejak kecil. Hobi itulah yang mengantarkannya jadi penyair nasional. Tulisan mengambil dari makna alam, namun memiliki kritik keras.
Ia juga sering diundang sampai ke luar negeri untuk membacakan hasil karya sastranya. “Kita ketahui Beghuk Atus itu tinggalnya di hutan. Namun bila masuk ke pemukiman warga, bahkan
sumber : sriwijaya post
0 Comments:
Post a Comment